Nabi Muhammad menyelesaikan perselisihan antara suku Quraisy tentang penempatan Hajar Aswad di Ka'bah
Ketika pemugaran Ka'bah hampir selesai, muncul perselisihan di antara empat kabilah dalam suku Quraisy tentang siapa yg berhak meletakkan Hajar Aswad
Peristiwa peletakan Hajar Aswad adalah salah satu contoh dari kebijaksanaan dan kedamaian yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebelum beliau diangkat sebagai rasul. Peristiwa ini terjadi ketika suku Quraisy melakukan pemugaran Ka'bah setelah bangunan tersebut rusak akibat banjir. Pada tahun 606 M, Ka'bah mengalami kerusakan akibat banjir besar yang melanda Mekkah. Suku Quraisy kemudian memutuskan untuk membangun kembali Ka'bah dengan mengumpulkan dana dan pekerja. Mereka bekerja sama dengan semangat dan kekompakan untuk membangun kembali Ka'bah.
Suku Quraisy adalah suku yang menguasai kota Mekkah dan Ka'bah, tempat suci umat Islam. Ka'bah adalah bangunan suci yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS, sebagai tempat ibadah bagi umat Islam. Di salah satu sudut Ka'bah, terdapat Hajar Aswad, sebuah batu hitam yang berasal dari surga dan diberikan oleh malaikat Jibril AS kepada Nabi Ibrahim AS. Hajar Aswad sangat dihormati oleh suku Quraisy dan para peziarah yang datang ke Mekkah.
Ketika pemugaran Ka'bah hampir selesai, muncul perselisihan di antara empat kabilah dalam suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. Setiap kabilah atau kelompok dalam suku Quraisy mengklaim hak untuk meletakkan Hajar Aswad, karena mereka menganggap itu sebagai kehormatan besar. Mereka tidak mau mengalah atau berkompromi dengan kabilah lain. Sehingga terjadi perselisihan di antara mereka. Perselisihan ini berlangsung selama empat atau lima hari, Perselisihan ini hampir berujung pada perang dan pertumpahan darah, karena mereka bersiap-siap untuk bertempur demi Hajar Aswad.
Di tengah-tengah situasi genting ini, ada seorang pemimpin tua dari suku Quraisy yang bernama Abu Umayyah bin Mughirah. Dia menawarkan sebuah solusi damai, yaitu menyerahkan masalah ini kepada orang pertama yang masuk ke Masjidil Haram, tempat Ka'bah berada. Dia berharap bahwa orang itu adalah orang yang adil dan bijaksana, yang dapat menenangkan hati mereka semua. Usulan ini disetujui oleh semua pihak.
Keesokan harinya, orang yang pertama kali masuk ke Masjidil Haram adalah seorang pemuda yang bernama Muhammad bin Abdullah yang saat itu berusia 35 tahun dan belum menjadi rasul tetapi beliau sudah memiliki akhlak dan budi pekerti yang tinggi. Beliau sudah terkenal sebagai orang yang jujur, adil, dan terhormat di kalangan masyarakat Mekah. Beliau juga merupakan cucu dari Abdul Muthalib, pemimpin suku Quraisy sebelumnya. Beliau juga dikenal sebagai orang yang mampu menyelesaikan perselisihan dengan bijak. Oleh karena itu, beliau diberi kepercayaan untuk mengatasi masalah peletakan Hajar Aswad.
Ketika melihat Muhammad, semua kabilah dalam suku Quraisy merasa lega dan senang. Mereka berseru, "Ini Muhammad, seorang pemuda yang jujur. Kami ridha kepadanya." Mereka kemudian menceritakan masalah mereka kepada Muhammad, dan meminta beliau untuk memutuskannya.
Muhammad mendengarkan dengan sabar dan penuh perhatian. Muhammad bin Abdullah kemudian melangkah menuju tempat penyimpanan Hajar Aswad, membentangkan surbannya, dan meletakkan batu tersebut di tengah kain surban. Beliau kemudian meminta kepada setiap kepala kabilah untuk memegangi ujung-ujung surban dan mengangkatnya bersama-sama. Ketika sampai di tempat, beliau mengambil Hajar Aswad tersebut dengan tangannya sendiri dan meletakkannya di lubang pojok Ka'bah.
Muhammad bin Abdullah tidak memihak kepada salah satu kabilah, tetapi membuat semua kabilah merasa terlibat dan dihargai. Muhammad bin Abdullah juga menunjukkan rasa hormat kepada Hajar Aswad dengan cara yang sopan dan sederhana. Suku Quraisy pun bersyukur kepada Muhammad bin Abdullah atas jasanya. Mereka melanjutkan pembangunan Ka'bah dengan damai dan harmonis. Mereka tidak menyadari bahwa Muhammad bin Abdullah adalah orang yang kelak akan menjadi nabi terakhir dan membawa risalah Islam kepada mereka.
Dengan cara ini, Muhammad bin Abdullah berhasil menyelesaikan perselisihan antara kabilah-kabilah suku Quraisy dengan adil dan damai. Tidak ada yang merasa dirugikan atau tersinggung oleh keputusan beliau. Bahkan, mereka semua merasa senang dan puas karena dapat berpartisipasi dalam peletakan Hajar Aswad. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Muhammad bin Abdullah adalah seorang yang memiliki akhlak mulia dan kepemimpinan yang kuat. Beliau juga menunjukkan bahwa Hajar Aswad bukanlah sesuatu yang harus disembah atau dimuliakan secara berlebihan, melainkan hanya sebagai tanda penghormatan kepada Nabi Ibrahim AS dan simbol persatuan umat Islam.